Senin, 30 Maret 2015

If a Country Wanna Have a Territory In Outer Space, Sebuah Analisa

Apollo 11 merupakan misi penjelajahan angkasa paling legendaris yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat. Misi ini dilaksanakan pada tahun 1969 dengan membawa 3 kru yakni Armstrong, Aldrin, dan Collins. Misi luar angkasa yang disiarkan ke seluruh dunia pada waktu itu merupakan salah satu titik awal dari misi-misi selanjutnya yang dilakukan oleh seluruh dunia, sebab misi ini menandakan suatu peristiwa penting yakni untuk pertama kalinya manusia menginjak permukaan bulan. Misi ini meninggalkan salah satu bagian dari kendaraan ruang angkasa yang diberi nama Apollo 11 di bulan, sedangkan bagian yang lain digunakan oleh para astronot tadi untuk kembali ke bumi. Adakah dari anda semua yang pernah berfikir, "Mengapa Amerika Serikat tidak menjadikan wilayah pendaratan sekitar Apollo 11 itu sebagai wilayah negara Amerika Serikat yang ada di bulan?" Atau adakah pertanyaan lain seperti, "Mengapa Amerika Serikat tidak menjadikan bulan sebagai kepemilikan Amerika Serikat padahal Amerika Serikat merupakan negara pertama yang mendaratkan warganya disana?"
Jika pertanyaan-pertanyaan semacam ini sempat terlintas di benak anda, artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Sebenarnya merupakan suatu hal yang menyenangkan untuk dilihat jika ada negara yang mempunyai wilayah di luar angkasa, itu menunjukkan kekuatan negara tersebut yang berarti negara tersebut bisa mendominasi alam semesta. Namun, hal semacam ini dilarang oleh sebuah perjanjian internasional yang diberi nama Outer Space Treaty yang dikeluarkan tahun 1967, dua tahun sebelum manusia mendarat di bulan untuk yang pertama kalinya. Dalam Article II perjanjian tersebut disebutkan bahwa:

"Outer space, including the Moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any other means."

Pasal tersebut tidak memungkinkan sebuah negara untuk memiliki kedaulatan atas benda-benda langit. Dan misi luar angkasa pada dasarnya merupakan misi yang dijalankan atas nama kemanusiaan, yang artinya benda-benda langit tersebut adalah milik bersama dan boleh menjadi objek penelitian semua negara di dunia. Status luar angkasa sama halnya dengan status yang dimiliki oleh laut lepas, yakni setiap negara boleh melakukan aktivitas tanpa batas kedaulatan. Hal ini disebut sebagai delimitasi luar angkasa. Seperti dapat dilihat dalam Article I Outer Space Treaty:

"The exploration and use of outer space, including the Moon and other celestial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interests of all countries, irrespective of their degree of economic or scientific development, and shall be the province of all mankind. Outer space, including the Moon and other celestial bodies, shall be free for exploration and use by all States without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law, and there shall be free access to all areas of celestial bodies. There shall be freedom of scientific investigation in outer space, including the Moon and other celestial bodies, and States shall facilitate and encourage international cooperation in such investigation."

Namun Outer Space Treaty juga menyebutkan bahwa tanggung jawab atas barang buatan negara yang ditempatkan di luar angkasa tetap merupakan tanggung jawab dan milik dari negara pembuatnya. Dan juga segala kerusakan yang diakibatkan oleh benda tersebut merupakan tanggung jawab negara yang memilikinya.

"Article VII

Each State Party to the Treaty that launches or procures the launching of an object into outer space, including the Moon and other celestial bodies, and each State Party from whose territory or facility an object is launched, is internationally liable for damage to another State Party to the Treaty or to its natural or juridical persons by such object or its component parts on the Earth, in air space or in outer space, including the Moon and other celestial bodies."

Pada intinya, misi luar angkasa yang dilaksanakan oleh negara-negara di seluruh dunia tidak boleh memiliki maksud untuk melakukan pendudukan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang dapat membahayakan perdamaian dunia. Dan Amerika Serikat bersama negara-negara yang lainnya telah sepakat meratifikasi perjanjian ini sehingga mereka berkomitmen pula untuk tidak melanggar perjanjian internasional ini. Maka, jika suatu negara hendak memiliki teritori di luar angkasa, jawabannya adalah: tidak bisa.
Coba anda bayangkan bila ada sebuah negara yang berdaulat atas sebuah benda langit, sebagai contohnya adalah Bulan. Bulan tersebut jika dijadikan milik oleh sebuah negara, secara otomatis hukum negara lah yang memiliki dampak langsung terhadap penggunaan bulan itu. Hukum internasional akan terganjal hukum nasional yang berdaulat atas benda langit itu. Negara yang berdaulat nantinya memiliki hak untuk membangun segala macam hal termasuk pembatasan penggunaan Bulan oleh negara lain, eksperimen senjata nuklir, atau dapat melakukan manipulasi yang dapat mengubah alam semesta dari mekanisme yang sebenarnya. Sebagai contoh, negara A yang berdaulat atas Bulan dapat menerapkan tarif bagi negara X jika bulan tampak di negara X misalnya. Hal itu dapat terjadi jika sebuah negara memiliki kedaulatan penuh atas benda-benda langit. Oleh karenanya perjanjian internasional Outer Space Treaty ini dibuat untuk mengantisipasi hal-hal itu, dengan bertumpu pada keyakinan bahwa alam semesta ini bebas dan dapat dimanfaatkan oleh negara manapun tanpa memandang status ekonomi dan kekuatannya, untuk kebaikan dunia dan kemanusiaan.

Salam,
Bernardino Rakha A.

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar